Saatnya Mencopot Keyakinan kepada Tuhan

Dalam kondisi dimana seorang yang kita sebut saja “Charles” dihadapkan kepada segelas air mineral yang kemudian ada tangan jahil yang meletakkan serbukan racun mematikan dengan label jelas yang tertera pada bungkusan racun tersebut, maka situasi apapun yang mendukung dia untuk meminum itu tidak akan menjadikan charles konyol untuk meraih gelas tersebut dan menenggak air itu kecuali ancamannya adalah kematian atau apapun yang sejenis, pada kiasannya, yang akan saya bahas adalah kondisinya, datang beberapa orang yang tidak menyaksikan racun tersebut dituangkan kedalam gelas tadi, lalu satu persatu mereka mengatakan kepada Charles, “Charles, minumlah air itu, itu disediakan untukmu”, Charles menjawab “Tidak, aku tau, bahwa air itu mematikan, ada racun terkandung didalamnya dan kalian tidak melihatnya”, dengan redaksi yang berbeda mereka memerintahkan Charles untuk meminum air itu, dan sebagian dari mereka mengatakan, “Hei, minumlah air itu, aku sangat yakin bahwa ini tidak berbahaya untukmu”, Charles sangat yakin bahwa air ini sangat berbahaya, dalam kondisi seperti ini, yang ada dipikirannya adalah konsekuensi yang akan ia terima setelah ia meminumnya.


Perlu digaris bawahi, setelah ia “yakin” bahwa air ini berbahaya untuknya, maka yang ia pikirkan adalah “konsekuensinya”, dan segenap eksistensinya, secara tidak sadar dan faktual, eksistensi “yakin” atau keyakinan yang ia pegang telah hanyut terbawa kondisi yang mendatangkan suatu nilai yang bersifat “konsekuensi”, kita sebut saja nilai Konsekuentif.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali kita temukan kejadian yang memiliki unsur-unsur seperti cerita Charles barusan, kita sering kali sulit membedakan mana yang berupa keyakinan atau konsekuensi sehingga kita terperosok kedalam lubang kesalah pahaman mengakar yang kemudian menjadikan kita sebagai pribadi yang ceroboh dan kemudian menyengsarakan kita. Coba kita kilas balik sebentar mengenai cerita Charles diatas, apabila Charles hanya mengandalkan keyakinannya tanpa berfikir terhadap konsekuensi yang akan ia terima, maka dengan berfikir sederhana kita dapat memastikan bahwa ia akan meminum air racun itu dan ia akan mati.

Manusia pada umumnya sering meletakkan hal-hal yang selayaknya diletakkan dalam ranah keyakinan, tapi malah diletakkan di ranah konsekuensi dan sebaliknya, tapi tidak masalah, ketika hal-hal yang selayaknya diletakkan dalam ranah keyakinan justru diletakkan dalam ranah konsekuensi, efek yang timbul adalah rasa was-was yang berlebih dan kehati-hatian yang sangat, meskipun dalam konteks lain, hal ini sangat berbahaya dan menimbulkan dampak buruk yang sangat besar. Kita ambil contoh sederhana pada kasus ini, seorang penderita diabetes, yang dimana ia harus menjaga tubuhnya dari makanan manis, dan telah memiliki standar ukuran gulanya adalah “100” sampai “150”, dalam kondisi seperti ini ia aman, disaat tertentu ia benar-benar menginginkan makanan yang mengandung gula yang kalau berlebihan akan mengancam kondisi kesehatannya, pada dasarnya, dalam kondisi seperti ini, ia bukan diminta untuk menjauhi gula, melainkan menjaga dirinya dari konsumsi gula yang berlebih, tapi segenap pikirannya malah memerintahkannya menjauhi gula tersebut karena rasa was-was dan menjadikan konsekuensi sebagai pedomannya, padahal apabila ia yakini dalam dirinya bahwa gula yang ia konsumsi tidak berlebih maka ia akan baik-baik saja. Tapi sayangnya, semua telah terlanjur, ia terlanjur meletakkan nilai keyakinan dalam ranah konsekuensi sehingga rasa takut itu benar-benar menyelimutinya dan ini bukanlah sikap yang baik melainkan sikap yang harus dihindari karena memiliki dampak psikis yang cukup akurat. Pada umumnya, manusia lebih sering meletakkan keyakinan dalam wilayah konsekuensi, maka secara logis kita dapat kesimpulan, bahwa sebagian besar manusia dimuka bumi memiliki gangguan kejiwaan universal.

Cerita-cerita diatas bukanlah tujuan dari pembahasan saya, hanya saja mengantarkan kita kepada permasalahan yang lebih mendasar, yaitu masalah keimanan. Berhubung saya tidak ingin berbelit-belit membahas hal ini, maka langsung saja saya ungkap pernyataan saya tentang masalah keimanan yang berkaitan dengan pembahasan awal kita. Ketika seorang telah mencari tahu dan menelaah lebih dalam tentang keberadaan Tuhan, dengan bukti-bukti logis,faktual dan sistematis, maka disitu akan timbul suatu nilai yang disebut “Keyakinan”, ia akan mengatakan “Saya yakini bahwa Tuhan itu ada”, kita harus lebih objektif dan logis dalam mengambil tindakan. Keyakinan itu harus secara otomatis berubah menjadi jembatan yang mengantarkan kita kepada suatu nilai konsekuensi, yang terus mengatarkan kita kepada keyakinan-keyakinan selanjutnya, dengan sikap yang tegas kita nyatakan bahwa semua bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan menyebabkan keberadaan Tuhan adalah sebuah konsekuensi, bukan lagi menjadi standar keyakinan. Secara sederhana, ketika kita telah yakini bahwa Tuhan itu ada, maka dengan sikap yakin pula kita mengatakan bahwa Tuhan itu Esa, dalam konteks seperti ini, keyakinan kita kepada Tuhan mengantarkan kepada konsekuensi bahwa Tuhan harus Esa. Dalam kisah Charles, kita telah menangkap satu kesimpulan, apabila Charles tidak memikirkan konsekuensi terhadap tindakannya, maka akan menyebabkan ia celaka, dan bagaimana ketika hal yang berkaitan dengan Tuhan hanya kita letakkan dalam wilayah keyakinan saja. Dan selanjutnya, kita harus terus mencari tahu apa kelanjutan dari konsekuensi keberadaan Tuhan dan keesaan Tuhan dan tidak lagi meletakkan hal ini dalam ranah keyakinan, sehingga tidak akan muncul perkataan dari dalam hati kita atau sampai keluar dari mulut kita secara sadar “Aku yakini bahwa Tuhan ada dan Tuhan Esa”.

Pemaparan diatas hanya sebagian kecil dari konsep Tuhan yang sangat luas, dan hanya menjadi bambu penyanggah agar kita semua tidak terperosok kedalam lubang kegelapan karena kecerobohan dalam berfikir. Semoga penjelasan saya dapat bermanfaat untuk kita semua pada umumnya dan untuk saya pribadi secara khusus. Dan semoga kita semua bukanlah manusia-manusia yang terbiasa meletakkan Nilai konsekuentif dalam wilayah keyakinan atau sebaliknya.

Sebarkan

0 Sanggahan:

Posting Komentar