Ternyata perkembangan teknologi tidak memberikan sumbangsih pada
transendensi nilai kesadaran manusia, khususnya kesadaran terkait dengan
Ontologi(Eksistensi wujud) serta Epistemologi. Atau malah sebaliknya,
semakin berkembangnya teknologi khususnya telekomunikasi dan Information
service, malah menjadikan manusia semakin jauh dari kesadaran tersebut.
Entahlah!.
Kali ini, pembahasan tidak terkait dengan
Teknologi atau Information service, melainkan sebuah diskusi sederhana
dalam memandang serta menanggapi apa yang telah terjadi pada masyarakat
beragama pada umumya. Dalam beberapa segmen, bisa kita saksikan,
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mereka melakukan bahkan
memprakarsai suatu aksi vandlisme dengan mengatasnamakan “Agama”, mereka
berusaha untuk mencari celah dengan segala cara, agar tindakan mereka
dapat diklaim sebagai tindakan yang valid. Bukan hanya terkait dengan
aksi Vandalisme, tapi semua sikap yang bertentangan dengan nilai
kemanusiaan.
Pada faktanya, hal ini lebih sering dilakukan
oleh orang-orang yang mengaku beragama, mereka mengatasnamakan agama
sebagai tameng, walaupun tanpa harus kita pikirkan matang-matang, dari
sudut pandang kemanusiaan, hal itu adalah sikap nonmoral tanpa
intelektual. Apa yang sebenarnya terjadi?. Apakah kesalahan mereka
terletak pada agama mereka?, atau ada beberapa opsi dalam agama mereka
yang tidak tersalurkan serta dimengerti oleh mereka?.
Sangat
serius, ini memprihatinkan. Kondisi yang tidak seharusnya terjadi. Saya
akan berusaha mengajak para pembaca untuk melihat kondisi seperti ini
dari sudut pandang realisme. Kita sedikit mengulas tentang elemen-elemen
yang menghantui mereka sehingga mereka tidak segan-segan untuk
melakukan aksi vandalisme dengan mengatasnamakan agama.
Yang
pertama adalah “Agama”, ini adalah elemen yang paling berpengaruh
terhadap sikap yang disebutkan diatas. Mereka menganggap bahwa mereka
adalah pahlawan agama mereka, mereka menganggap bahwa yang mereka
lakukan adalah kebenaran, Agama mereka adalah agama yang paling benar,
selain penganut agama mereka adalah kesesatan dan tempatnya dineraka.
Sudah semakin jelas, ada orientasi positif yang mereka harapkan demi
mencapai kebahagiaan.
“Agama”, “Surga”, “Kebenaran”. Tiga
hal yang memiliki kontribusi besar atas tindak tanduk mereka. Perlu
diketahui bahwa hal ini sebenarnya ada dalam diri setiap manusia,
mungkin tidak terlalu potensial untuk membentuk sikap, entah karena
tidak memperdulikan kebenaran atau karena memang mengerti situaisi untuk
bersikap.
Secara gamblang, jika diperhatikan, ketiga elemen
diatas merupakan eksistensi positif dan memiliki image yang sangat
istimewa. Lalu apa yang salah?.
Agama adalah serangkaian
aturan yang dibentuk oleh penguasa, entah penguasa yang fisik atau Non
fisik. Agama tidak memiliki jaminan kebenaran, Agama terbatas oleh
konsep, bahkan pada dasarnya Agama adalah konsep yang terbatas.
Sedangkan surga(Baca:Dalam pandangan umum) adalah tempat yang berisikan
berbagai kenikmatan yang dijanjikan oleh setiap penguasa yang
menciptakan Agama untuk para penganutnya yang taat serta berkorban
dijalan Agamanya. Terkait dengan Kebenaran, adalah eksistensi Mutlak
yang tidak memiliki batasan serta terus menjaga transendensi Kepribadian
dalam diri manusia dan memberikan kekuatan berupa kesadaran-kesadaran
filosif yang kemudian akan membentuk manusia menjadi pribadi yang Valid.
Orientasi
positif yang dilakukan dengan sikap kekerasan adalah wujud
Noneksistensi kesadaran logis pada diri manusia. Yang mereka lakukan
selama ini adalah menjalani agama yang menjanjikan surga bagi mereka
serta berusaha mencari kebenaran dalam agama yang dianutnya. Ini
merupakan degradasi kesadaran yang merajalela dalam diri masyarakat
beragama di era modern. Agama tidak menjanjikan kebenaran, “Kebenaran”
tidak bisa dicari dalam Agama, mugkin hal ini sulit diterima. Bukan
begitu?.
Coba kita sadari, ketika Agama adalah konsep yang
terbatas, apa mungkin dapat ditemukan “Kebenaran”(Baca:Sebagai
eksistensi mutlak yang tidak terbatas) didalamnya?. Yang sekarang
melanda pikiran manusia beragama pada umumnya, mereka salah menempatkan
posisi atau tahap pemikiran yang meniscayakan kesalahan dalam bersikap.
Ketika Agama dijadikan alat untuk mencari kebenaran, maka yang akan
dihasilkan adalah kesalah-pahaman yang berkelanjutan serta mengaplikasi
berupa pertentangan argumentasi antara ajaran agama dengan “Kebenaran”
perseptual individu, sehingga muncul tindak-tanduk yang salah dan
dianggap benar. Ingat! Hal ini terjadi karena manusia belum mengenal
“Kebenaran”, lalu bagaimana dapat menemukan “Kebenaran” dalam “Agama”?.
“Kebenaran”,
apabila dikaitkan kepada “Surga”, akan berdampak sangat buruk,
penyelewengan hakikat emosional manusia, karena tidak menitikberatkan
pada nilai kebenaran itu sendiri, melainkan kepada Reward(Baca:Surga)
yang diharapkannya.
Kenali “Kebenaran” melalui kesadaran
logis tentang realitas yang ada, Agama bukanlah gudang yang berisikan
penuh kebenaran. Jangan Khawatir akan kebenaran tanpa agama, karena
“Kebenaran” yang akan mengantarkan kita kepada “Agama”. Agama yang
direduksi oleh “Kebenaran” tidak akan memandang “Surga” maupun “Neraka”
sebagai tolok ukur Kevalidan. Kebenaran mutlak hanya ada pada
“Kebenaran” itu sendiri.