Agama Tak Perlu Benar

Hasrat menyembah sesuatu sama pentingnya dengan hasrat seksual. Keduanya adalah kebutuhan fundamental bagi manusia. Hasrat seksual jangan diartikan hanya sebatas orientasi fisikal, tapi juga sebagai mediasi penjaga pilar-pilar psikologis manusia. 

Hasrat menyembah sesuatu hadir karena adanya berbagai kebutuhan, sehingga seseorang mau tidak mau merasakan saat-saat ia harus tunduk pada keinginan. Karna rata-rata manusia mengalami hal serupa, harus ada satu rangkaian konsep yang menjadi cerminan keindahan seluruh realitas. Sehingga manusia terposisikan sebagai penyembah, namun tetap berada dalam skala kehormatan, yang dimana harga dirinya tidak jatuh, dan keinginannya tetap tersalurkan.

Hal diatas adalah slot kosong dalam diri manusia yang kemudian diambil alih oleh agama. Yang ditawarkan dengan berbagai cara, merepresentasi keindahan rangkaian wujud yang ada, sebagian percaya kepada nabi A sebagian lain percaya kepada nabi B. Bahkan ada yang percaya kepada konsep agama tanpa meyakini kesakralan peran kenabian. 

Marketing ajaran agama harus dimulai dari pengenalan hasrat dan harapan calon customer. Karna pada dasarnya manusia tidak suka dengan kekerasan, kejahatan, kemunafikan, pencurian, hal-hal bau, hal-hal jelek dan segala bentuk keburukan lainnya. Maka agama harus menjadi satu-satunya hal yang paling indah, konsepnya harus komprehensif, harus membangun sebuah hirarki agar seluruh partikular yang majemuk memiliki posisi.

Agama juga harus menjadi penawar hasrat negatif, maka dari itu terlukis gambaran masing-masing pembawa ajaran agama dengan sosok yang paripurna, prilaku yang penuh kasih, memiliki kecerdasan dan kekuatan emosional di atas rata-rata, ucapannya menyentuh hati sekaligus menghantam kesadaran terdalam pada jiwa pendengarnya, keindahannya terbalut dengan kewibawaan. Mereka senantiasa menjadi standart tertinggi pada parameter manusia sejati. Barulah agama memiliki posisi ditengah-tengah kehidupan manusia.

Dalam kondisi itu, 'kebenaran' otomatis ter-anak tirikan. Para manusia yang telah lama menanti sosok paripurna tidak akan memiliki pandangan terhadap 'kebenaran' mutlak maupun 'kesalahan' mutlak. Disitu segala bentuk 'Benar' menjadi bias dan kalah dengan 'Indah'.

Agama dipercayai karna keindahan pembawa ajarannya dan kemutakhiran konsepnya, bukan karna kebenarannya. Mempertahankan agama dengan memaksa kebenarannya diterima semua orang, sama dengan menggunakan barang yang bukan miliknya dengan cara yang tidak disukai pemiliknya. 

Ciiiiiaaaaaaao!

Sebarkan