Peradaban manusia terikat pada banyak hal. Diantaranya; budaya, agama, ideologi dan berbagai kembangan konsep lainnya. Artinya, peradaban secara kontekstual bersifat "dependent". Karna peradaban tidak berdiri sendiri, maka harus terus ditopang oleh sesuatu yang selainnya. Pada prinsip logika, sesuatu yang harus ditopang agar kedaulatannya stabil, terhukum lemah.
Selemah-lemahnya peradaban, bukan berarti ia pasif, ada refleksi lintas era yang menjadi buah segar untuk dinikmati oleh penghuni di era setelahnya. Yaitu sejarah. Dalam hal ini, sejarah menduduki posisi sebagai hasil wartaan atau hasil paradigma yang terangkum menjadi sebuah kisah panjang berisikan kejadian dan penggalan-penggalan kisah tokoh. Peradaban mempersembahkan itu.
Seiring berjalannya waktu, menguatnya sistem demokrasi yang menggantikan rezim monarki, melemahnya feminisme sebagai perwakilan konsep keadilan, tergantikan oleh feodal, patriarkis dan kolonialis padahal hanya sokongan kepada tirani modal diberbagai wilayah dunia. Egalit dan proletarit menduduki bangku cadangan dalam hirarki sosial. Sejarah pun takluk pada tinta penguasa, kekuasaan yang awalnya sebatas aneksasi menjadi suatu pabrik penetas opini.
Pro dan kontra terbangun berdasarkan tinta, keimanan dan kepedulian juga ikut mewarnai cerita, kebencian dan penghancuran diwariskan melalui kata, sehingga cita-cita dan harapan seakan berada di balik senjata. Karna sejarah dianggap nyata.
Suksesi peradaban lampau mempersembahkan sejarah. Bukan untuk diyakini dan bukan juga untuk dimusuhi. Kita membangun keyakinan dan permusuhan berdasarkan itu. Ironi yang beregenerasi, entah akan segera berakhir atau menjadi bintang kelabu dalam peradaban terakhir.