Agama diturunkan untuk mengatur manusia. Karena untuk mengatur
manusia, tidak mungkin agama dititipkan kepada yang masih harus diatur. Karena itu, harus ada seseorang yang bisa ditiru, tidak perlu diatur,
terhindar dari kesalahan berpikir dan bersikap. Sebagai wakil Tuhan
untuk mengurus agama.
Karena tidak
minta bantuan akal, sebagian manusia berkeyakinan bahwa tidak mungkin
ada manusia yang suci, dengan dalih super logis bahwa selain Tuhan pasti berbuat salah. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan menyuruh orang sakit untuk
datang kepada dokter, yang dokter itu masih sibuk mengobati penyakitnya.
Sebagian lain menggunakan agama untuk menjustifikasi kebenaran dirinya,
karena lupa bahwa dirinya adalah manusia yang seharusnya diatur.
Dampaknya, ia melanjutkan fungsi agama sebagai fasilitas demi memaksa
orang lain untuk mengikuti keyakinannya.
Terlihat seperti Tuhan lokal
tak bersertifikat, atau bentuk kudeta terhadap kenabian. Karna
hampir tidak ada yang benar memahami agama, dan agama berada ditangan
manusia yang lupa bahwa dirinya manusia. Penampakan buruk atas nama
agama menjadi tontonan sehari-hari. Akal sehat masih tersisa,
menyajikan dua pilihan.
Pertama; Hidup tersiksa karena harus berbeda
dalam berkeyakinan dan dijadikan sasaran genosida oleh mayoritas yang
merasa sebagai pemilik SHM agama. Anggap saja sebagai pelatihan anti api
neraka.
Kedua; Dengan berat hati meninggalkan agama serta
beralih kepada sains dan teknologi. Mulai berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan dunia tanpa minta bantuan surga.
Tidak perlu takut
mengambil keputusan besar sekalipun harus diclaim ahli neraka, karena
berkumpul di surga bersama orang-orang yang mengkudeta akal sehat adalah
bentuk siksaan baru.