Menulis

Dalam menyebar gagasan positif, yang harus diperhatikan adalah kebutuhan manusia. Bukan keinginannya. Menjadikan issue dominan sebagai bahan bacot yang tak ada habisnya, itu indikasi kelemahan epistemik, minim wawasan, kurang baca (bukan kurang ngopi). Dan merupakan tanda-tanda mesin pengolah idenya hampir pensiun.

"Betapa banyaknya Ilmu dan sedikitnya waktu". - The Ali Bin Abu Thalib.


Perdalam sesuatu yang tidak harus diminati orang lain. Karena yang ramai digandrungi belum tentu dibutuhkan. Waktu hidup yang cepat atau lambat akan di stop oleh sang Raja Wujud terlalu murah kalau dihabiskan untuk meramaikan berita-berita temporer seputar politik atau perbedaan pandangan.

Mulai bergegas dari issue dominan kepada ilmu yang membangun peradaban, dari sibuk urusan Ahok dan Risma beralih kepada hal-hal yang lebih utama. Ketimbang ngomongin hal-hal ga jelas dan ujung-ujungnya bahas kopi, ya mending ngapelin pacar yang sedang menanti. (Jomblo itu sifat Tuhan, yang jomblo jangan tersinggung).

Benih ide perfeksi diri dan pembangunan moral tumbuh dalam pikiran yang jernih, terlepas itu akan menjadi aksi atau hanya ilusi. Alhasil, menasehati tidak sepenting introspeksi, menulis kebaikan tidak sepenting menerapkannya dan ngomongin politik tidak sepenting menata diri.

Kritik tak harus nyentrik.
Mengkaji tak harus memuji.
Menulis tak harus sistematis.

Banyak hal yang bisa ditulis, egoisme dan rasa ingin dipuji membuat orang lupa bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Membuat orang merasa dirinya adalah penyambung lidah Tuhan untuk menyampaikan kebaikan, menganggap dirinya terlalu cerdas untuk hanya sekedar diam dan merenung, Sehingga merasa berkewajiban berada di posisi terdepan dalam mewartakan issue terkini.

Yang perlu dipahami. Menulis artinya memposisikan cermin kehadapan diri, bukan untuk menasehati orang lain. Jika banyak orang yang meminjam cerminmu, itu tanda kacanya bersih.




Sebarkan

0 Sanggahan:

Posting Komentar