Ke Tuhan Inferior

Kehadirat fajar menindihi logos. Dalam kelamnya semburat tenunan elok dunia, tubuh gontai ini terpelanting dalam pusara munajat.

Isme-isme kuno di altar ide yang dahulunya digdaya, saat ini jadi tumpukan warna tak berdaya.

Tatanan nalar yang dahulunya superior, kini terperanjat dalam cekam ruang inferior.

Sulaman aksara meta anarasi, menjelma keluh kesah mengharap amnesti.

Sukma yang terhanyut dalam kemilau fajar, menyendiri di bilik-bilik kantuk dan keterhempasan.

Porandakan aksioma klasik, dunia tak butuh pada pabrik persepsi yang terbelenggu nalar serigala.

Jantannya matahari menakutkan syaraf obituari. Kemilau teriknya, menyeret luka yang seharusnya terpenjara masa lalu.

Ada prosa anti klimaks pada bait-bait doa, karena Tuhan maha mendengar, bukan selalu ingin mendengar. Tuhan maha penyayang, bukan selalu ingin menyayang. Tuhan maha hidup, bukan selalu ingin hidup.

Sebarkan

1 Sanggahan: