Perkembangan teknologi yang diwujudkan dengan mudahnya akses internet serta penggunaan sosial media telah mendobrak tatanan normatif dan menjebloskan penggunanya kepada aksara-aksara trendi tanpa kejelasan makna.
Masyarakat imaginal menjadi korban penggiringan stigma kosong dengan tujuan supaya manusia terbiasa dengan hal-hal yang tidak berlandaskan asas logika, atau terbiasa dengan ungkapan yang tidak sesuai kaidah rasional.
'Baper' diantaranya, akronim dari 'Bawa perasaan'. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kondisi hati yang berada dalam keterikatan dengan seseorang atau benda atau hewan peliharaan.
Baper bermakna 'Terikat', ketidak-merdekaan jiwa, kehilangan pelana diri, terjajah dengan ego, serta terkepung oleh emosi. Itu makna baper yang sebenarnya ingin diverbalkan dengan satu kata.
Bawa perasaan adalah melibatkan sisi emosional dalam menyikapi suatu argumen, atau suatu permasalahan, atau suatu kondisi yang terjadi, baik itu prilaku sosial maupun dialog verbal.
Penggunaan kata 'baper' yang awalnya merupakan akronim dari 'bawa perasaan' mengalami distorsi makna. Jadi kata 'Baper' bukan bermakna 'Bawa perasaan', keduanya memiliki makna tersendiri.
Terlalu polos jika kita memahami 'baper' sebagai 'bawa perasaan'. Karna belum ada orang yang bisa copot-pasang perasaan, sehingga bisa tidak bawa perasaan dan memasangnya lagi diwaktu-waktu tertentu.
Dari sudut pandang syariat kata, 'baper' merupakan akronim haram yang lahir dari persetubuhan dua kata (bawa dan perasaan) tanpa akad yang sah.
- "Apabila anda ingin memiliki perasaan, segera datangi toko-toko terdekat".
- "Silahkan letakkan perasaan anda di tempat yang sudah kami sediakan".
- "Dilarang membawa perasaan dari luar".
- "Silahkan letakkan perasaan anda di tempat yang sudah kami sediakan".
- "Dilarang membawa perasaan dari luar".