Memberi masukan disertai keangkuhan adalah narsis praktis
berkedok nasehat. Pelakunya terikat dosa domestik,
penerimanya korban luapan penyimpangan moral. Menjadi hakim atas masalah ini
tidak mudah, karna barang buktinya adalah kalimat bijak.
Begitu
juga mengakui kesalahan disertai pembelaan diri, merupakan pengkhianatan
kontemplasi, atau pembangkangan ego kepada jiwa yang telah tunduk pada
kemestian. Dalam prilaku ini, pelakunya merasakan kemenangan semu, bermesraan dengan
bayang-bayang pembenaran yang diproduksi massal dalam benaknya, seakan telah
menjadikannya dalam kebenaran yang sesungguhnya.
Memaafkan yang disertai dendam. Pelakunya menjadi subjek kezaliman personal sekaligus menjadi objek refleksi keterpurukan moral. Seakan menciptakan ruang yang dipenuhi kegelisahan tak berwarna dan serta-merta menyeret kenangan buruk terhadap seseorang ke dalam daftar kotor yang dipadati nama-nama para musuh yang harus segera merasakan derita.
Penderita ini disibukkan dengan rangkaian konsep balas dendam yang tidak membuahi hasil yang sesuai. Karna pada prosesnya, ia bukan hanya sedang membenci musuh-musuhnya, yang paling aktual adalah, ia sedang tidak mampu menerima kehadiran dirinya dalam kehidupannya, merasa terjebak dalam raga yang sudah terlanjur dianggap pecundang.
Bisa dikatakan, karna tidak mampu menyiksa diri sendiri yang paling dibenci, ia mengambil kebijakan untuk sinis serta memupuk kebencian kepada orang lain.