Beragama Tanpa Halangan

Melihat kedepan bukan berarti mencintai harapan sebagai wacana. Melihat kebelakang bukan berarti pesimisme karna peliknya kondisi. Persatuan dan komitmen akan menjadikan masa depan dan masa lalu sebagai entitas yang menyempurnakan masa kini.  
Semoga kalimat pembuka diatas dapat menjadi pemanis bahasan saya pada kesempat kali ini.

Tema-tema seputar keber-agamaan akan selalu menjadi kajian yang mengasyik-kan bagi sebagian orang, dan akan terus menjadi wacana yang dihindari oleh sebagian orang. Semuanya baik karna semuanya bagian dari wujud(satu-kesatuan rangkaian penciptaan).
           
Disadari maupun tidak, Agama sebagai essensi (dalam arti sederhana yang bisa dipahami oleh semua orang dan mampu diterapkan dengan proses pembelajaran), membagi manusia menjadi tiga golongan.

Golongan pertama adalah. Manusia yang beragama, mereka adalah kelompok hasil refleksi positif dari substansi agama, tidak memahami agama secara sistematis dan tidak menguasai logika keilmuan serta tidak mampu mempertahankan akidahnya secara argumentatif. Namun, gaya hidup penuh santun dan layak dijadikan representatif sederhana sebagai manusia yang beragama.

Golongan kedua adalah Manusia yang berilmu agama, memiliki banyak wacana keagama-an dan banyak menghapal hadis2 nabi serta rajin mengkonsumsi pemikiran-pemikiran klasik terkait agama. Mereka asik dengan kajian kitab suci atau filsafat, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan agama sebagai modal untuk hidup sebagai umat beragama. Namun pada umumnya, kelompok jenis ini justru mengesampingkan nilai-nilai moral dan agama secara substansif, bersikap arogan dan merasa bahwa dirinya adalah orang yang dititipkan kunci surga. Sederhananya, kelompok ini tidak memasuki wilayah amal yang notabene telah diajarkan oleh agama.

Golongan ketiga adalah kelompok spesial yang memang prodaknya terbatas. Mereka mencari ilmu karna memang untuk diamalkan, mereka bekerja dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan independensi tanpa mengesampingkan nilai moral, memperjuangkan hak-hak orang lain dan menjalankan tanggung jawab sesuai wilayah taklif dan profesinya dalam sekup sosial atau wilayah kerja. Mereka cenderung memberikan contoh ketimbang menasehati, mereka cenderung memberikan pandangan baru ketimbang hanya sekedar mengkonsumsi obrolan orang tua, mereka mengemas ilmu agama sesederhana mungkin agar dapat ditawarkan kepada manusia jenis apapun. Mereka cenderung menjaga perdamaian atas nama persatuan ketimbang meroketkan anarkisme atas nama kebenaran. Mereka tidak lagi memandang agama sebagai objek kajian majlis ta'lim, tapi lebih menjadikan substansi agama sebagai gaya hidup yang bisa diterima oleh semua kalangan.   

Kurang lebih itu adalah penjelasan tiga golongan manusia yang terbagi karna pengaruh essensi agama. Namun yang perlu dicatat disini adalah, manusia tidak dapat memilih golongan mana yang akan ia capai karna manusia hanya terlibat didalam sebuah proses panjang yang hasilnya tidak bisa diraih hanya dengan sebuah pengetahuan, tetapi jangan khawatir, kesaktian realitas akan melantik manusia menjadi salah satu pada tiga opsi diatas.  

Dan semuanya adalah Wujud, jadi tetap harus dicintai. Hal ini bukan bentuk kelemahan kehendak manusia dan keterlibatan Tuhan dalam rangkaian kehidupan, namun cara pandang terhadap takdir harus diperbaharui. Takdir bisa dipahami dengan dua cara, takdir sebagai kondisi yang dipersepsikan dan takdir sebagai kondisi yang bersih dari sentuhan subjek dan objek (kejadian yang tidak dipersepsikan).

Saya akan menjelaskan dengan contoh: dihadapan anda ada seorang anak kecil yang terjatuh dari sepeda dan mengalami benturan dibagian lutut sehingga lutut anak itu berdarah dan dia mengerung kesakitan.
Kondisi diatas secara garis besar merupakan sebuah takdir dan bagian dari wujud. Namun apa kita harus mencintai kondisi dimana seorang anak kecil yang jatuh kemudian berdarah dan diakhiri oleh tangisan?

Anak kecil terjatuh sebagai objek, anda menyaksikan sebagai subjek. Apabila takdir hanya dipahami seperti ini, maka kita akan sering melakukan pembangkangan terhadap Eksistensi. Kondisi dimana anda empati karna tidak tega,  itu bentuk takdir sebagai kondisi yang dipersepsikan. Namun ada kekuatan yang mengatur jalannya cerita ini yang tidak mampu dipersepsikan. Pada kondisinya, ia subjek sekaligus objek, ia pengatur sekaligus pelaku aturan, ia solid dan tidak terbagi. Dan itulah takdir sebagai dirinya, maka itulah yang harus kita Cintai.

Mengingat terjadinya pembagian golongan beragama, bahwa manusia tidak dapat memilih dimana ia akan singgah. kita hanya cukup untuk memaksa diri kita agar dapat memahami takdir sebagai kondisi yang dipersepsikan, agar paling tidak dapat menentukan jalan terbaik untuk menjadi golongan yang kita harapkan. Lalu berserah pada ketentuan wujud serta pada akhirnya memandang semua yang telah terjadi merupakan rangkaian penciptaan yang sempurna.

Beragama tanpa halangan, bukan berarti menghalangi orang lain untuk menjalankan agamanya, beragama tanpa halangan bukan berarti terhalangi oleh perbedaan pandangan tentang agama. Beragama tanpa halangan bukan berarti menganggap halangan sebagai takdir buruk yang tidak sengaja hadir tanpa sebab, beragama tanpa halangan adalah kedewasaan sikap, pencerahan, menawarkan kemurnian, menciptakan kedamaian, menjaga keragaman, mempertahankan kesatuan, menjunjung tinggi substansi agama, tidak sibuk dengan simbol dan menerapkan agama bukan hanya sebagai alat reproduksi, tapi sebagai gaya hidup yang transenden. .
    

Sebarkan