Ketika Tuhan Dimutilasi
'Meyakini keberagamaan
sebagai perjalanan spritual adalah kesombongan nurani. Menyikapi keberagamaan
sebagai perjalanan pengetahuan adalah kesombongan ideologi'- Faragi
Manusia,
sebagai makhluk yang transenden dan menjadi 'Insan Kamil' pada tingkatan
masing-masing, tentu akan menganggap bahwa 'berhenti mencari kebenaran' adalah
sebuah gagasan cuti logika yang tidak mungkin menyentuh nilai-nilai keluhuran.
Aspek
yang terlindungi oleh pemahaman dari hasil pencarian ilmu, merupakan sebuah
prodak sederhana yang tidak akan dijual karna harganya sangat mahal dan tidak
bisa ditolerir oleh nominal mata uang ataupun tumpukan berlian.
Aspek
itu tidak terlihat dan tidak bisa dijabarkan, aspek itu juga yang membentuk
pribadi, bukan hanya sebagai beban memori kepala.
Aspek
itu orisinil secara essensial, tidak bisa dikritisi dan tidak bisa diwakili.
Pada keterbatasan bahasa, kita menyebut itu adalah 'Kesadaran'.
'Pengetahuan'
adalah objek Epistemologi, Epistemologi sebagai metode merumuskan pengetahuan
juga tersusun oleh rangkaian essensial yang rangkaian itu juga bergantung
kepada ke-tidak-terbatasan, yaitu 'Wujud', artinya segala sesuatu yang bukan
dari-Nya, maka 'Tidak Ada'. Ketika 'ketiadaan' itu ada, maka harus didahului
oleh 'Wujud', maka keputusan yang mutakhir saat ini adalah, 'Wujud tidak
ber-awal karna meng-awali, Wujud tidak ber-akhir karna meng-akhiri'.
Wujud,
dalam istilah filsafat disebut 'Eksistensi' atau dalam pengertian ilmiah
disebut 'Ontologi'.
Kembali
kepada pembahasan mengenai 'Kesadaran', sebagai aspek yang terlindungi dari
pemahaman dan hasil pencarian ilmu. Kesadaran, dalam pemahaman yang serupa
bahwa ini adalah aspek yang terlindungi, maka ia akan terus transenden(meningkat
dalam hakikat-nya) dan akan mencapai titik tertinggi. Dan pada puncak
tertinggi, kesadaran ini akan bertransformasi dalam seluruh aspeknya dan akan
merasuk kedalam jiwa serta mendominasi seluruh elemen yang ada dalam diri
manusia kemudian berbuah menjadi 'Kesadaran Eksistensi'.
Turun
sedikit, kita sampai pada Epistemologi, sebagai metode perumus ilmu
pengetahuan. Dalam kajian keagamaan, Epistemologi sering dianggap sebagai
masalah historikal, artinya ada hal-hal yang tidak perlu dirumuskan tapi tetap
bisa berjalan stabil, dan ketika dibenturkan oleh epistemologi, justru jadi
sedikit terhambat. Karna dalam epistemologi setiap 'kata' dimintai
pertanggung-jawaban.
Contoh
sederhana untuk menggaringkan pernyataan diatas:
Pada
umumnya umat beragama telah sepakat bahwa 'Muhammad adalah Nabi, dan kita harus
percaya kepada beliau'.
Statement
itu sangat lazim dan akrab dengan teori berfikir sebagian besar umat Islam.
Namun ketika kalimat itu dibenturkan kepada Epistemologi sebagai kaidah yang
menjadi basis ilmu pengetahuan, harus diperjelas, apakah Muhammad dalam kalimat
itu adalah Muhammad yang secara 'Eksistensial' persis dengan 'Muhammad' yang
secara literal tercatat dalam 'AL-Qur'an'?, atau 'Muhammad' yang pengertiannya
bersandar kepada persepsi seseorang terhadap hakikat 'Muhammad' yang diutus
sebagai Manusia pembawa Wahyu?, artinya 'Muhammad' dalam kalimat itu hanya
sebuah Interpretasi saja. Bukan Muhammad yang terekam dalam dinamika risalah
Islam.
Kurang
lebih seperti itu. Epistemologi juga tidak bisa diandalkan 100%, karna objeknya
adalah 'pengetahuan' dan subjeknya adalah 'manusia biasa'. Epistemologi juga
bukan segalanya, karna hanya berkutat pada kekuatan logika dan argumen.
Epistemologi, ketika digunakan dalam agama, juga bukan mediasi paling sempurna
untuk mengantarkan kepada 'Wujud', karna hanya dapat mengantarkan manusia
kepada interpretasi 'Mazhab'.
Mazhab
A dan Mazhab B, dua-duanya Okay. Karna keduanya hanya prodak Epistemologi dan
harus disadari bahwa pilihan terhadap Mazhab hanya merupakan keterbatasan
pengetahuan dalam menyikapi penciptaan. Yang bahaya adalah ketika menganggap
Agama hanya prodak Epistemologi, karna itu memiliki efek turunan.
Tahapannya
seperti ini:
-
Memahami Agama hanya sebatas prodak Epistemologi
-
Menganggap Mazhab adalah mediasi ilahi
-
Meyakini bahwa 'Wujud' itu terbagi
Ketika
meyakini bahwa 'Wujud' itu terbagi, maka itu adalah sebuah kesalahan berfikir
paling faktual dalam proses menuju 'Kesadaran Eksistensi’.Karna berujung kepada kesadaran 'Non-wujud" yang dimana 'Wujud' yang Esa telah dimutilasi oleh pemahaman ke-Mazhab-an.
Sebagai
penutup, saya ulangi sedikit. Mazhab A okay, Mazhab B juga okay. Masalah
prinsip beragama itu tergantung dari apa yang disadari, bukan dari apa yang
dipahami oleh logika(artinya masih menjadikan 'Pengetahuan' sebagai dasar untuk
mencapainya), tapi Agama yang hakiki adalah yang menjadikan 'Kesadaran Eksistensi'
sebagai mediasi menuju 'Wujud', karna Dzat-Nya tidak bisa dicapai oleh
pengetahuan jenis apapun.
'Agama bukanlah perjalanan spritual, bukan juga perjalanan pengetahuan, melainkan sebuah balada kesadaran untuk mencapai sang 'Wujud". - Faragi