Telah menjadi satu landasan pemikiran, atau bisa dibilang suatu
ideologi sederhana, bahwa cinta adalah satu konteks eksistensi yang
dapat membahagiakan dan kemudia menyengsarakan setiap pelakunya. Pelaku
percintaan atau orang yg mecintai akan semata-mata menganggap bahwa
cinta adalah suatu hal yang harus dituntut bagi setiap manusia, dan
setelah ia merasakan kegagalan atau akhir yang tidak diinginkan, maka ia
akan menyalahkan cinta dan merasa bahwa cinta adalah
keterjerumusan.Pada dasarnya pemikiran semacam itu adalah hasil dari
kecerobohan manusia, dan keterbatasan pengetahuan dan keyakinan mendasar
akan konsep cinta yang telah dipahaminya.
Tuhan pemilik cinta dan pemilik segala keberadaan yang ada telah
terlebih dahulu menyadarkan seluruh maujud yang ada, bahwa bisa seluruh
keberadaan yang ada. Mungkin ini salah satu satu argumen yang bisa
dijadikan sebagai dasar pemahaman bahwa cinta adalah suatu kemurnian,
kebaikan, kebahagiaan, penghangat setiap keadilan dan tuntutan bagi
setiap pemilik hati.
Kesengsaraan yang terjadi dalam kehidupan yang didasari oleh cinta,
pada hakikatnya adalah kesalahan pemahaman yang fatal. Pelaku cinta
telah terhanyut dalam cinta yang salah, cinta yang tidak mengenal
tumpuan yang layak, dan yang paling sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat adalah penggunaan perasaan yang diawali dengan rasa ingin
tahu, pengenalan terhadap objek yang akan dijadikan sebagai tujuan
cinta, lalu setelah cinta itu timbul di kedua belah pihak, dihancurkan
oleh keinginan lain yang datangnya bukan dari cinta. Rasa ingin memiliki
adalah satu hal yang paling berperan penting dalam hancurnya kehidupan
manusia yang menjadi satu indikasi yang dipandang wajar bahwa itu adalah
kesalahan cinta. Mungkin ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar
kita tidak menyesali perbuatan mencintai.
1.Tentukan Objek
Yang terpenting dalam tindakan mencintai adalah menentukan objeknya,
karena ini juga yang menjadi salah satu faktor bahwa cinta adalah sumber
keterpurukan. Yang dicintai dengan segenap raga dan jiwa tidak dapat
memberikan kontribusi khusus yang diharapkan yang akhirnya hanya
membuahkan penyesalan dan cinta dijadikan sebagai kambing hitam dalam
seluruh aspek perasaan yang telah dikorbankan. Hal ini juga menjadi
tameng terhadap rasa kecewa, karena target yang akan dicintai telah
memenuhi syarat dan telah melampaui batas normal dalam pandangan
pecintanya. Target dikehendaki seistimewa mungkin, agar ketika terjadi
ketertutupan jalan menuju target, sang pelaku akan senantiasa menganggap
dirinya tidak layak untuk mendapatkannya, dan akan senantiasa
mengeluarkan segenap potensi dirinya, dan menjadikan dirinya lebih baik
dari sebelumnya.
2. Tanpa Pamrih
Pengorbanan yang diatas namakan oleh cinta setidaknya dapat
memberikan kepuasan tersendiri terhadap si pengorban tersebut, akan
tetapi tidak jarang pula yang meyalahkan cinta karena pengorbanannya
tidak terbalaskan dengan apa yang diharapkan. Ketulusan adalah salah
satu solusi yang paling efektif untuk mencegah kekecewaan itu. Maka dari
itu setiap pelaku harus terlebih dahulu menentukan objek seperti yang
telah di paparkan sedikit dibagian sebelumnya. Setidaknya tidak akan ada
penyesalan karena si pelaku telah terlebih dahulu meyakini bahwa
mencintai adalah kebutuhan dan akan menjadi satu beban tersendiri ketika
cintanya tidak tercurahkan kepada kekasihnya.
3. Berfikir positif
Kebanyakan manusia, tidak menjunjung tinggi nilai relevansi.
Formalitas dijadikan segalanya. Hal inilah yang menjadikan cinta
dipandang sebagai sumber dari kesengsaraan. Mencintai adalah kebutuhan
mutlak setiap insan yang berakal dan memiliki hati. Cinta dengan segenap
kemurnian dan esensi yang melekat dengan Tuhan, akan mewarnai seluruh
ranah permasalahan yang terjadi di muka bumi ini. Ketika sang pelaku
cinta mulai mengasihi kekasihnya dengan rasa cinta yang dikemas dengan
perhatian, kasih sayang, ucapan-ucapan lembut yang keluar dari bibirnya.
Secara tak sadar, ia telah menghibur dirinya dengan itu. Tidak hanya
sampai disini, yang terjadi pada kebanyakan pelaku jatuh cinta,
menempatkan perasaan-perasaan lain dalam hatinya yang ditujukan terhadap
kekasihnya. Sampai disini harus lebih ditegaskan, bahwa ada
perasaan-perasaan lain yang datangnya bukan dari cinta melainkan dari
hawa nafsu yang menjelma dalam perasaan yang memberitahukan pada akal
bahwa ini adalah cinta.
Hal-hal semacam itu mengemas dirinya dengan
keindahan, mewarnai perasaan dengan harapan-harapan lain, yang nantinya
akan menimbulkan rasa ingin memiliki. Sudah semakin jelas, ketika rasa
ingin memiliki itu hadir, kemurnian cinta akan hilang dan
terkontaminasi. Manisnya perjuangan, kasih sayang, perhatian, dan
ucapan-ucapan lembut yang pertama hadirpun akan memudar, karena semuanya
tidak didasari oleh cinta. Dan mulailah berfikir positif menghargai
cinta sebagai kemurnian mutlak suatu kebahagiaan, dan siap mengatakan
bahwa kesengsaraan-kesengsaraan semacam itu datangnya bukan dari cinta,
melainkan perasaan-perasaan lain yang menjelma dengan keindahan dan
membuat akal tak mampu lagi berfikir dan menumpahkan semua kesalahan ini
terhadap cinta.
Ketika diibaratkan, burung yang ada didalam sangkar yang pintu
sangkarnya dalam keadaan terbuka karena sang pemilik lupa menutup
pintunya, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah burung itu
akan keluar dan terbang tak tentu arah mengikuti kehendak hati dan
hinggap dimanapun tempat yang ia kehendaki tanpa memperhatikan keamanan
atau perihal lain yang meliputi tempat hinggapnya si burung tadi. Cinta
bukan seperti burung yang sangkarnya lupa ditutup oleh pemilik sangkar.
Cinta adalah aktual, ada, hadir, independen terhadap apapun. Cinta
dimiliki oleh setiap pemilik hati, cinta akan hadir jika diminta dan
akan hilang ketika yang dicinta sudah tidak layak lagi, dan akan pindah
kepada kekasih baru yang layak untuk dicinta. Cinta bukan kepemilikan,
melainkan pengorbanan, bukan juga harapan melainkan kesantunan, bukan
kesengsaraan melainkan kebutuhan. Curahkan cinta yang ada terhadap yang
layak, karena cinta adalah milik kita, bukan milik yang dicinta. Yang
kita kasihi hanya merupakan wadah kosong yang indah, lembab dan
membutuhkan cinta kita untuk menghiasi wadah tersebut dan ketika suatu
waktu wadah tersebut tidak layak lagi untuk dihiasi dengan rasa cinta,
kasih sayang, pengorbanan dan hal-hal indah lainnya, maka dengan segenap
independensi yang telah Tuhan berikan pada diri kita, kita mampu untuk
menarik cinta kita kembali dan memindahkannya sesuai dengan yang kita
inginkan dan layak sebagai persinggahan kasih sayang. Semua itu harus
didasari oleh pemahaman bahwa cinta yang kita miliki adalah suatu hal
yang berharga dan sangat istimewa, dan tentunya kita tidak akan
meletakkan cinta ini disembarang tempat, yang nantinya hanya akan
merendahkan eksistensi cinta tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 Sanggahan:
Posting Komentar