4, September, 20012- Awal perjalanan yanag bermula dari
sebuah niat kecil, ya niat yang sangat sederhana. Saat itu saya dan salah
seorang rekan, ia bernama Haidar, nama panggilannya Chepi memulai langkah untuk
menuju suatu tempat yang disana terjadi suatu peristiwa aksidental yang sangat
memalukan.
Terjadinya suatu diskriminasi sosial yang mengatas namakan agama.
Saya tidak terlalu peduli terhadap motif apa yang menyebabkan hal ini terjadi,
tapi dari sudut pandang logika kemanusiaan, maupun hukum pemerintahan yang
berlandaskan demokrasi, hal ini sangat menjijikan dan sangat tidak manusiawi. “Penegakkan
Hukum dari Rakyat kepada Rakyat” , itu yang terjadi dikota kecil itu. Sampang
namanya, salah satu bagian dari kepulauan Madura.
Saya menulis artikel ini juga sebenarnya penuh tekanan,
karena banyak yang harus saya tutupi dan saya juga harus mengkontrol arah
pembahasan serta emosi yang khawatir akan meletupkan isu SARA.
Salamat bagi para pejuang sampang. Allah bersama kalian.
Mungkin terlihat tidak terarah, namun ini emosi dan
kebebasan penulisan.
Saya menapakkan kaki disampang hari selasa jam 11 malam,
waktu itu kebingungan karena tidak faham harus bagaimana. Kondisi Gor sangat
redup dari kejauhan, dan diwilayah depan GOR terlihat posko-posko relawan dan
aparat yang dari sudut pandang fisikal atau penglihatan kasat mata, itu sangat
mengerikan, ya seperti film the SAW mungkin(itu lebay).
Saya sampai dengan membawa
koper besar berisikan penuh buku doa, saya membawa buku itu kedalam pengungsian
sendirian, dari gerbang sangat terasa sekali atmosfir ketidakbebasan dan
kekhawatiran, karena mata-mata yang melirik saya penuh curiga, mungkin mereka
mengira saya bawa senjata tajam, namun hati saya juga berbisik “Apa mungkin
orang se-imut saya bawa senjata tajam?” tentu tidak.
Saya dipanggil oleh beberapa personil Densos setempat yang
belaga hebat padahal otaknya kosong, karena keliatan dari kantung matanya yang
beler dan pandangannya yang kosong, mereka menanyakan identitas saya, dan saya
berikan identitas palsu aja. “Mau ngapain jujur sama mereka??”.
“Selamat malam mas?” Tanya polisi itu. Saya jawab dengan
lantang “KASSSEEHHHH TAAAOO GA YAAA??”..(itu salah ketik)
Saya disuruh isi buku tamu dan saya isi dengan asal2an dan
mereka tidak sadar. Kemudian koper itu ditanyakan, dan saya jelaskan bahwa
koper ini berisi buku doa saja. Kemudian saya mempersilahkan polisi itu untuk
memeriksa koper tersebut, dan sialnya. Koper itu dievakuasi sama mereka. Saya pada
saat itu tidak mampu mempertahankan koper itu karena udah sangat lelah dan
lapar sekali. Akhirnya saya permisi pergi dari kubangan polisi itu, dan keluar
GOR.
Sampe diluar saya ketemu salah seorang aktivis dari pondok
pesantren YAPI, beliau bernama ustad Mukhtar Lutfi, setelah ngobrol panjang
lebar, beliau mempersilahkan saya dan haidar untuk tinggal di posko relawan
bersama para aktivis LSM. Dan koper yang berisi buku itu tanpa saya sadari
berhasil diselamatkan oleh Pak Muad, beliau sekjen ABI jawa timur. Beberapa hari
kemudian baru buku2 doa itu dapat dialokasikan kedalam GOR, tapi saya tidak
mengetahui prosesnya gimana, “Kenapa saya tidak tahu?” jawabannya adalah “TAKDIR!!”.
Itu sedikit cerita saya dihari pertama. Mohon maaf kalau ada
kesalahan kata atau penulisan, karena saya menulis ini dalam keadaan patah
hati, “Kenapa bisa patah hati?” karena saya punya hati. #GaNyambung? #Sekian.
Assalamualaikum wr.wb
0 Sanggahan:
Posting Komentar