Asparaka dan Menjelang Malam


“Proses menuju kesempurnaan adalah segalanya, segala problema yang merekah itu disebabkan karena adanya harapan realistis yang menghujani hati dan disetujui oleh akal. Hidup bagaikan pedang yang tumpul dan setiap kita adalah penanggung jawab akan tajamnya sang pedang dan menjadi pemain lincah pedang kehidupan dengan harapan mulia nan nyata. 

Perjalanan setiap yang berakal memang indah apabila disadari dan menguasai keadaan, bukan dikuasai olehnya, karena berapa banyak manusia-manusia bodoh yang hidup mewah dan dikuasai oleh kemewahannya, bahkan dihancurkan oleh kemewahannya. Sungguh harta yang berharga adalah yang bisa menjaga kehormatan pemiliknya”. Itulah syair yang pernah dituliskan olehnya di kertas sederhana di sore menjelang tenggelamnya sang raja siang kala itu.

Persada sore mulai menampakkan diri dengan keberaniannya dalam bercakra, matahari yang berdiri tepat diatas kepala penjaring debu dan gemuruh ombak yang menghiasi laut Tuhan sepertinya telah menempati posisi yang nyaman. Dia mulai tatap kembali langit sang pencipta kehidupan dengan penuh harap. Matahari hadirkan suasana mesra dengan pergerakan lambat dan arah yang semakin mendekati laut. Seorang pemuda penuh harap dengan gaya sederhana dengan tenang duduk dipesisir pantai dengan memandang tajam gerak matahari yang semakin mendekati badan samudera. Ia tidak menghiraukan ribuan gemuruh debu yang menampar wajah rusuh yang berhias sedikit jenggot dan jambang sang pengawal diri. Gitar kayu tua dengan secangkir kopi panas dan sebatang rokok tidak pernah lepas menemani iringan hidupnya. Suasana masi berkabung senja dan mataharipun tinggal setengah badan. Tak henti pemuda itu melempar batu ketengah laut dan sampai satu batas tertentu dimana batu itu tak bisa lebih jauh lagi dan ia berteriak parau.


“Wahai Tuhan! Aku mulai merasakan keberadaanmu saat ini, kaulah yang meletakkan kekuatan dalam diriku sehingga aku sangat faham bahwa kekuatanku hanya sampai disini”. Dan ia pun kembali memetik gitar tua dengan sangat piawai, itulah gitar warisan ayahnya yang telah pergi menyongsong akhir pada waktu silam.
Tatapan tajam saat ini tertuju pada matahari yang setengah badannya telah meredup ditelan dahsyatnya kekuatan laut dan sepertinya akan hilang tertutup tabir kebodohan dan ia pun kembali menjerit.
“Hey matahari! Dahulu kau sempat mengaku Tuhan bukan?. Saat ini kukatakan bahwa kau bohong, kau lihat dirimu, kau hanya partikel sederhana yang dikuasai oleh Tuhan pemilik alam dan sepertinya aku lebih 

 pantas sebagai Tuhan karena aku menyaksikan ketenggelamanmu”.
 

Begitulah tingkah seorang Cingah, seorang pemuda pemberani, ceria, pandai menghadapi selaksa kehidupan dan memiliki antusias dalam menyingkap apa yang sebenarnya ada dalam alam Tuhan ini
.
“Tung!” Minuman kaleng kosong terkena kepalanya, segerombolan para pemabuk yang tak sengaja membuang bekas kaleng itu sembarangan dan terkena kepala CIngah. Cingah berdiri dengan sigap dan mengarahkan pandangannya kearah gerombolan manusia-manusia itu dan berteriak. “Wahai manusia-manusia yang telah menghinakan diri! Ketahuilah! Bahwa perbuatan kalian kelak akan berupa wujud yang akan menyengsarakan diri-diri kalian”. Dan kemudian tenang.
 

Matahari telah hilang dan mempersiapkan diri untuk menghiasi pagi dikeesokan hari, derakan pasir-pasir pantai mulai terasa berat menampar kulit, gemuruh ombak menandakan keberanian yang sangat dari penguasa sang ombak, garis merah yang mulai memudar dan berganti hitam mulai dapat disaksikan dengan kasat mata, dan pasangnya air mulai hadir. Cingah berjalan kearah pemukiman dekat pantai dengan bergantungkan tas kecil hitam dengan sedikit sambungan tali tambang berwarna putih yang menjadi ciri khas kepemilikannya dan gitar tua yang menggantung dibelakangnya.
 

Ada tempat kecil yang berhiaskan kesederhanaan dengan berkilau warna pasir yang menyelubungi tempat itu, kamar yang hanya bermuatkan beberapa buku bacaan dan seperangkat alat sholat dengan tanpa terdapat Al-Qur’an didalamnya, berpondasikan batu kali, batu bata dan adonan semen yang telah kering yang diukir dengan ceroboh, tatanan bangunan yang  tak layak ditempati, kamar kecil bersih yang mengandung sejuta kenangan dalam hidup Cingah dan dipintu kamar itu bertuliskan “Kawasan bebas Tuhan” dan hanya Cingah yang memahami maksudnya. Ditempat inilah Cingah tinggal, ditempat inilah Cingah menyendiri dan menghibur dirinya dengan dirinya, ia menamakan tempat ini dengan sebutan “Asparaka”. Ya!! Asparaka namanya, ia menamai tempat ini dengan nama itu.
 

Malam telah menyelimuti, dengan iringan petikan senar gitar yang dimainkan merdu oleh Cingah, gerak angin yang kabarkan akan keesaan Tuhan sangat dapat dirasakan ditempat ini. Cingah duduk sendiri di pelataran Asparaka menghadap kelaut dari kejauhan, tak ada kawan yang menemani, petikan gitar menambah merdu dan mesra suasana pada malam itu. Kemudian petikan gitar itu seketika berhenti dan Cingah mengambil  bongkahan kayu basah yang tercecer dihadapannya dan beranjak semakin mendekati pantai dan ia menuliskan kata-kata diatas pasir.
 

“Kumulai tatap kembali langit Tuhan, dan kunanti gerak angin yang bertiup tuk kabarkan keberadaanmu wahai sahabat. Tuhan telah menyendiri dalam damai dan aku menyendiri dalam kekurangan”.

Cingah merasakan kesepian karena tak ada sahabat yang menemani, sikap yang terlalu idealis memang melekat dalam diri seorang Cingah dan bukan hanya itu, Cingah juga memiliki rasa sosialis yang sangat tinggi, hanya saja cara yang ia lakukan terkadang tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang. Tapi begitulah ia. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini, halangan dan rintangan adalah makanan sehari-harinya, ejekan dan cemoohan adalah bukti kehidupan Cingah dan ia tidak pernah manjadikan hal-hal semacam itu sebagai beban batin karena Cingah beranggapan bahwa semua yang ada akan terbalaskan, karena Tuhan yang adil tidak mungkin membiarkan keadaan terus seperti ini dan Tuhan telah memberikan rasa dalam diri manusia akan cintanya terhadap keadilan dan Cingah meyakini bahwa Tuhanlah solusi dari permasalahan-permasalahan itu. 


Hadirkan suasana bahagia dalam kolom kehidupan, rasakan indahya bahagia dari penyelesaiian terhadap berbagai masalah. Nestapa selaksa luka dan inilah kehidupan. Sungguh kehidupan yang tidak pantas dilewati oleh siapa yang berakal jika tidak dihiasi dengan bala dan musibah.

Tuhan telah memberikan rasa “Cinta kekal” dalam diri manusia dan telah melekat pada sebagian besar bahkan sangat sebagian besar dan Cingah meyakini bahwa ada hari kekal yang telah disediakan Tuhan untuk seluruh yang berakal dan hal ini adalah hasil dari pemikiran setiap mereka yang berakal yang pemikirannya telah sampai kepada konsep seperti itu. Pemikiran layaknya parasut, ia akan berfungsi ketika terbuka dan kehidupan seorang Cingah sangat patut dicontoh karena penempatan akal yang proporsional dalam dirinya sangat tampak sehingga tidak semua orang dapat menalar sebagian besar pemikiran Cingah yang dituangkan dalam syair-syairnya.
 

Tetap dalam kesendirian dan keheningan, gitar tua tidak lagi dipetik, kopi sudah hampir habis dan rokok sudah tidak menunjukkan jejak kepergiannya. Cingah duduk termenung dan tersenyum menghadap alam. Angin yang bertiup dan kemudian mengajak pasir terbang bersamanya. Debu pinggiran yang mengotori bebatuan Asparaka mulai ikut bertebaran sehingga mengenai kaki dan lutut Cingah. Tatapan Cingah saat ini kearah debu yang terus berderak menggerayangi tubuhnya, dengan kelelahan dan kesyahduan Cingah berbicara kepada sang debu.
 

“Gemuruh hati terasa singkat melihat tingkah berani kalian yang tak berakal, kalian tak kenal aku dan aku pun tak kenal kalian. Makhluk kecil yang sombong!”, lalu Cingah menundukkan kepala yang melambangkan penyesalan dan ia bangkit kembali dan menatap gemuruh debu tadi sembari mengulurkan tangannya kearah mereka dan menyeka debu yang ada di bebatuan asparaka dan bekas yang masih tersisa ditangannya ditatap dengan penuh khidmat dan ia berlantun pelan “Terkadang kubertingkah berani layakmu, beranimu hanya untukku dan mereka, dan beraniku untuk Tuhanmu dan Tuhan mereka. Wahai debu! Kau sahabatku”.

Suasana berkabung gelap, langit telah legam karena malam telah menduduki kaki langit. Ombak tetap beraksi dengan lazimnya, pasir-pasir pantai telah menyadarkan Cingah bahwa ia telah berani dalam kadar yang tak pantas. Salam sejahtera wahai pasir-pasir pantai, salam sejahtera wahai ombak-ombak Tuhan, salam sejahtera wahai bebatuan pantai, merekalah bagian dari alam yang hadirkan bermacam kesejukan dan kenyamanan. Cingah duduk dipelataran Asparaka, dari kejauhan ia menatap kearah laut, ia membisu, berfikir, merenungi apa yang sebenarnya terjadi dalam alam ini?.
 

Ia tak pernah meminta untuk diletakkan dibumi Tuhan ini, tapi apakah ini adalah masalah yang harus dipecahkan?, atau hanya lelucon yang tiada arti?. Tapi sepertinya tidak mungkin. Alam yang tercipta dengan keindahan pasti memiliki pencipta yang dikenal dengan Tuhan. Dan pengertian tentang hal ini juga tidak membuat Cingah berhenti sampai disini. Akal adalah anugrah besar yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia, dan sebaik-baiknya manusia adalah yang mempotensikan kadar akalnya semaksimal mungkin sampai kepada suatu titik yang dimana akal sudah tidak memiliki peranan didalamnya. Begitulah Cingah, ia meyakini bahwa akal adalah suatu yang istimewa dan ia juga meyakini bahwa akal bukanlah segalanya.
Penjaring malam telah lenyap, singgahnya malam dan habis rembulan, perisai akal telah ditancapkan kebadan samudra dan akan menjadi saksi dari awal perjalanan hidup sang dia. Apalah arti sebuah kehidupan jika tanpa halangan?, dan apakah pantas menjadi seorang yang besar jika tidak pernah menghadapi ujian yang besar?. Sungguh ini adalah perkara, kehidupan tidak sampai disini, tidak sampai pada akal, ada suatu yang lain, dan itu adalah Tuhan.
 

Cingah bangun dari duduknya dan memperhatikan keadaan sekeliling Asparaka demi memastikan apakah Asparaka dalam keadaan aman atau tidak. Ia melangkah kedalam wadah sederhana yang bersih itu dengan kehati-hatian, ia meyakini bahwa Tuhan memantau gerak-geriknya, walaupun terkadang keyakinan itu pergi dibawa oleh naga ompong yang tak bertanggung jawab, tapi ia menyesali perbuatannya. Asparaka bercahayakan obor tua yang ia rakit sendiri, dengan paparan rotan dan sebagiannya anyaman bambu tua sebagai alasnya, dinding yang berbahankan batu bata yang dikukuhkan dengan semen yang telah keropos, didinding terpampang beberapa foto tokoh besar seperti Bung Karno, Tan malaka dan disisi lainnya terpampang foto pemimpin besar revolusi Islam Iran yaitu Khomeini dan disebelahnya ada gambar karton besar yang berilustrasikan lima lingkaran cahaya dengan satu cahaya besar yang berada ditengah empat cahaya lainnya. Gambar yang terpampang didinding dalam Asparaka adalah Tokoh-tokoh besar bagi Cingah yang merupakan suatu harapan tinggi berdedikasi khusus untuk menjadi seperti mereka dan gambar lima cahaya itu telah ada dari sebelum gambar tokoh-tokoh itu dan Cingah sendiri tidak memahami apa maksud dari kelima Cahaya tersebut tapi entah kenapa Cingah acapkali tersenyum jika pandangannya menuju kearah lima cahaya itu.
 

Kemudian ia merapikan beberapa buku-buku yang berserakan di tempat yang semestinya dijadikan sebagai tempatnya terbaring untuk terlelap dalam tidurnya, gitarnyapun disandarkan didinding dan ia pun berbaring dengan bantal kecil sebagai pelapis pelindung untuk mengganjal kepalanya dan berselimut dengan kain tipis berbayang dan sepertinya menjanjikan kehangatan bagi sang Penyair Jalanan.
Pemuda antah berantah telah terbaring sadar ditempat bersemayamannya, pandangan masi tetap berkeliling kepada seluruh lapisan Asparaka, perhatiannya yang tajam adalah awal dari prosesnya menuju esok, mengharap fajar datang tuk kembali jalankan kehidupan mewah dihari esok. Pelipur jiwa lara sepanjang singkatnya malam Cingah dengan diiringi lagu sang Ebiet G ade yang berjudul “Titip Rindu Buat Ayah” menambah syahdunya malam Cingah di Asparaka, radio kecil yang umurnya lebih tua dari pemiliknya telah menjadi sahabat bagi Cingah, dan sayangnya radio kecil itu hanya bersikan satu kaset tua yang hanya bisa memutarkan satu lagu yang telah hadirkan sejuta harapan dan angan-angan indah bagi Cingah dan radio kecil itu tetap rela menemani Cingah dalam kesederhanaan hidupnya.
 

Radio kecil yang berada tepat disebelah kaki kanan Cingah diraihnya dan hanya ada satu tombol dibadan radio itu, dan lagu itupun mati setelah cingah menekan tombol itu dan akan hidup kembali jika tombol itu ditekan untuk yang kemudian. Asparaka telah hening layaknya pesisir pantai setelah gitar Cingah tak lagi dipetik, Cingah terbaring tenang dengan diselimuti kain tipis berbayang yang sepertinya sangat membuat nyaman tidurnya, mata belum terpejam, akal masih beroperasi, hadir untuk menghakimi setiap kejanggalan, tatapan liar mulai hadir kembali dan memantau segala aspek Asparaka yang terhiaskan kesederhanaan.

Dan kemudian Cingah sontak bangun dari baringnya, ia terduduk dengan kaki lurus tertutup kain tipis berbayang. Ia menatap dinding Asparaka dengan pandangan yang sangat tajam dan ia pun bangun dan mengetuk dinding itu, ia mendengar bunyi dari ketukan tangannya, kemudian ia mengambil sendok besi yang bersandar disudut Asparaka dan mengetuk dinding itu dengan sendok kecil itu dan terdengar kembali suara ketukan dengan konotasi nada yang lebih keras. Dan kemudian Cingah tersimpuh dihadapan dinding itu dengan tangan kanan terbuka yang menempel dinding, dan berkata dalam hati.
 

“Sungguh ini Tuhan. Aku tahu bahwa dinding Asparaka telah berdiri sejak lama, aku hanyalah pemuda yang hadir untuk memperbaharui Asparaka dengan kesederhanaan. Dimana orang yang membangun tempat kecil ini?. Aku yakin mereka telah lama pergi menyongsong akhir. Tapi mereka bukan sebab akan berdirinya dinding Asparaka. Mereka telah pergi! Ya! Mereka telah pergi, tapi mengapa dinding ini tetap kokoh?. Mereka bukanlah sebab berdirinya dinding Asparaka!”.
 

Cingah tetap terpaku dalam diam dan rasa bingung. Mulai kembali berfikir akan kasih Tuhan yang meletakkan kekuatan disetiap partikel kehidupan. Sungguh ini adalah perkara penting yang terlupakan. Ia pun kembali pada posisinya yang terbaring dengan berselimutkan kain tipis itu dan mulai memejamkan mata demi hadirkan suasana berkabung fajar esok dan bahagia.

Sebarkan

0 Sanggahan:

Posting Komentar