Mencapai Tuhan dengan Galau

Penggagas retorika 'galau' telah undur diri dari dunia imaginal. Stigmatisasi kegalauan sukses dipenetrasi pada nadi publik. Sehingga setiap orang yang merasakan sedikit gundah bisa langsung memverbalkannya menjadi 'status'.

Karna sesuatu yang dipublish di wajah media telah terinveksi virus stimuli reaksi dari pembaca, maka setiap orang yang hendak menuliskan kegalauan, harus terlebih dahulu memilih bahasa yang paling dramatis dan tragis agar sensasinya bisa me-nasional atau men-dunia.


Galau yang awalnya diverbalkan melalui kata-kata, saat ini berkembang menjadi rekaman video karaoke, dugem, jalan ketempat ramai dan selfie pose pragawati abal-abal bahkan ada yang hanya menampilkan bagian belakang kepala, karna merasa rambut yang telah dipermak lebih indah dari wajahnya.

Adalagi yang hanya memamerkan paha sampe kaki, pengambilan fotonya sambil duduk, kamera diarahkan kebawah. Kegalauan terakhir itu seperti ratapan orang yang terkena diabetes yang dalam waktu dekat kakinya harus diamputasi.

Saya pernah bertanya sama seseorang wanita, apa penyebab kegalauannya?.
Dia jawab.

'Aku gapapa'.

Dalam tahap Irfan, ini merupakan fase kerinduan kepada Tuhan pada tingkatan yang paling tinggi, dimana seseorang sudah tidak bisa lagi merasakan sebab-sebab atas perasaan yang menimpanya, karna interaksi yang terbangun hanya melibatkan dirinya dan Tuhan.

Mudah-mudahan masa sekarang ini adalah masa-masa keemasan kaum Irfan dan Tasawwuf, tidak lama lagi para penggalau yang sekarang muncul dipermukaan sosial media akan pergi meninggalkan dunia yang fana ini dan kembali fitrah dalam naungan rahmat serta melesat bagaikan atom yang terbang menyongsong inti cahaya yang suci.

Sebarkan