1. Akal adalah alat pengikat konsep, jangan dipaksa mengenal Tuhan. Dalam hal ini, Iman adalah instrumen tunggal yang mampu dimainkan.
2. Akal teoritis membagi manusia kedalam golongan-golongan sosial, pada praktis verbal, akal justru menyeimbangkan komunikasi interpersonal. Iman tak mampu mencuat ditengah keramaian.
3. Ujian bagi iman adalah kesendirian, sedangkan ujian bagi akal adalah kemajemukan.
4. Akal cenderung paranoid apabila dibiarkan tidak mengikat konsep, iman justru harus selalu tanpa konsep. Karna pada dasarnya konsep tentang keimanan bukanlah imam praktis.
5. Akal teoritis tidak niscaya seimbang dengan akal praktis. Dengan itu saling memaklumi juga bagian dari fungsi akal. Disini akal menetaskan moral.
6. Iman tidak akan tersentuh pada keragaman, maka dari itu tak akan pernah ada pertanggung jawaban tertulis mengenai fungsi dan syarat-syarat resmi sebuah iman.
7. Apabila akal tak mampu mencerna, jangan ngotot berbicara hanya untuk dianggap bisa bicara. Di sini akal berfungsi sebagai pembeda antara 'bunyi-bunyian' dengan 'pembicaraan'.
8. Akal menerima teks demi memahami konteks. Iman Hanya mampu menerima cerapan cahaya yang diimani. Teks dan konteks menjadi tanpa fungsi.
9. Iman yang sempurna membuat dirinya aman dan nyaman. Akal yang sempurna membuat orang lain di sekitarnya aman dan nyaman. Di sini iman dan akal harus bersatu. Biasanya pada ruang publik.
10. Ide toleransi muncul karna kerja keras akal, iman membenahi potensi moral dan refleksi diri kepada sosial.
11. Rasa empati muncul karna akal telah tunduk pada naturalitas kehendak. Sebagian mengakui ini peran iman, sebagian lain menganggap ini kebetulan.
12. Kehendak mencintai adalah gerak normatif jiwa, tak ada hubungan dengan akal dan iman. Justru akal dan iman mengkerdilkannya atau malah melebih-lebihkannya.
13. Menegaskan keimanan ditengah keramaian adalah aksi primitif. Kemajemukan membutuhkan argumen logis.
14. Ruang bagi iman adalah mihrab dan ruang bagi akal adalah hirarki. Agama seharusnya menjadi ruang bagi keduanya.