Selfie, bersifat diri. Dulu disebut narsisme: sebuah prilaku yang
memuja diri karna menganggap dirinya terlalu indah untuk tidak dipuji,
dia perlu melakukan modus-modus yang mengundang pujian, karna hanya
dengan pujian itu dia merasa dirinya ada.
'Aku dipuji maka aku ada'
Mengingatkan pada perkataan monumental Almarhum Descartes, (baca: dekart) -Bapak rasionalisme barat.
Karna pengakuan orang lain itu penting untuk mengkofirmasi kehadirannya
sebagai manusia yang tidak hanya sekedar mampir didunia ini, maka dia
menjadikan pengakuan itu sebagai oksigen yang harus terus dihirup, tanpa
pengakuan itu berarti oksigennya habis,ia tercekik dan mati. Kematian identitas.
Gairah untuk mencari pengakuan ini bermula dari kata yang dimuat dalam
kolom, lazim disebut 'status', difesbuk maupun disosial media lainnya,
sebagai ruang untuk mengespresikan diri, untuk mewartakan:
'plissss sukai aku😔😔'
'mohon cintai aku😖😖'
'pliss akui aku😫😩'
'plisss beri aku like😰😰'
'apa arti hidup ini tanpa like😤?'
'bayangkan hidup anda tanpa like?☺️☺️'
Bila sudah kehabisan kata, quote tulisan orang yang kadang tanpa
dikutip nama pemiliknya dijadikan sebagai jejaring untuk mengais
dukungan dan pengakuan.
Tapi cara yang lebih mudah dari itu adalah mengekspose tubuh, wajah,aksesoris dan pernak-pernik kegenitan lainnya.
Sampailah semua orang pada sebuah sistem nilai baru, berada dalam fase
transformasi gaya hidup dan etika. Yang dulu dianggap tak senonoh, kini
dianggap baik dan wajar, sombong yang pasti buruk, kini netral, pamer
yang dulu dianggap tak patut, sekarang justru menjadi simbol kekinian
atau gaya hidup par-excelence.
Selfie sebutannya.
Tak
peduli kaya atau miskin, asli cantik atau vermak-an, semua mensyukuri
karunia bernama sotoshop. Wajah pecel bisa berubah soto. Penampilan
odong-odong bisa jadi lamborgini.
Inilah dunia imagologi dan kepalsuan yang diagungkan, semua terjun bebas kedalamnya, termasuk anda dan saya.
Ciiiaaao!!!