Nasionalisme Bukanlah Konsekuensi Anak Bangsa


Ingat pada saat Tim Nasional Indonesia mengalahkan Kamboja dalam laga terakhirnya di Sea Games pada tahun 2011 kemarin. Sorak sorai dari para pendukung bangsa sangat bergema sampai pertandingan berakhir, dan seketika pada waktu itu nuansa disulap oleh para pendukung bangsa dengan symbol khidmat berwarna merah, suara dari pendukung tim lawanpun tidak bergema karena terharu oleh antusiasme dari para anak bangsa.

 Kalau diamati secara mendalam, kita akan seringkali menemukan hal-hal semacam ini, yaitu ekspresi avektif yang menggebu-gebu oleh anak bangsa apabila Negara tercintanya bertanding melawan bangsa lain dalam laga pertandingan apapun. Dari hal semacam inipun dapat dilihat bagaimana antusias para pendukung bangsa serta pengorbanan sederhana yang mereka lakukan kepada bangsanya. Ada beberapa hal berkenaan dengan subtansi dari Nasionalisme itu sendiri yang akan dibahas di artikel sederhana ini. Secara umum, Nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham pemikiran yang menciptakan serta mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Dalam hemat saya, hal ini terlalu kompleks dan tidak karuan, pengertian dari “Mempertahankan Kedaulatan” adalah bentuk yang sifatnya aplikatif serta merupakan sebuah aksi yang berujung pada vandalisme.

Menurut bapak Proklamator yang kita kenal dengan sebutan Bung Karno, beliau menghimbau bahwa Nasionalisme Negara kita bukan lah Nasionalisme Chauvinisme, yaitu Ideologi yang mengatasnamakan Humanisme yang secara implikatif lebih menunjukan sisi komunisme yang kemudian akan berakhir dalam detak jantung kapitalis. Menurut beliau, Nasionalisme Negara ini adalah Nasionalisme yang memprakarsai agar nilai ketuhanan dapat terjaga, membuat setiap anak bangsa hidup dalam ruh yang positif, sebagai deklarator untuk mencetuskan anti Kapitalisme dalam setiap pribadi mereka, dan suatu tuntutan moral agar selalu dalam perjuangan kepada kemerdekaan bangsa.

Pernyataan ini sepertinya jarang diungkap oleh pihak media, sekalipun media yang mengatasnamakan kepentingan bangsa. Sehingga anak bangsa yang begitu polos lebih mengartikan bahwa Nasionalisme hanya sebuah partisipasi dalam event kompetitif yang melibatkan Negara ini. Saat ini Nasionalisme Negara kita lebih layak disebut sebagai Nasionalisme Kompetism atau Nasionalisme Eventism. Nasionalisme yang menggebu-gebu ketika pertandingan olahraga atau event-event tertentu. Sangat memilukan, tapi beginilah kenyataannya.

Berangkat dari kesadaran personal, Nasionalisme bangsa bukanlah rasa iba karena tekanan dari tangan-tangan kapitalis yang terus mengusik ketentraman Negara ini, Nasionalisme bukan suatu bentuk pengorbanan utilitas, yaitu pengorbanan yang berakhir pada suatu harapan agar mendapatkan sebuah penghargaan moral, bukan juga persepsi tentang bagaimana Negara ini dapat terbangun kembali dengan pola yang lebih memanjakan bangsa sebagai bentuk komplen terhadap para pemerintah. Pada faktanya, ini yang lebih menyibukkan kita.

Semua harus berawal dari kesadaran, kita menginjakkan kaki di negeri Bhineka, negeri Maritim, negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya. Nasionalisme bukan lah konsekuensi karena kita menduduki Negara ini, karena itu adalah suatu keterpaksaan, apabila aplikasi terbentuk karena suatu bentuk keterpaksaan, maka tidak akan terjalin simbiosis yang berkelanjutan.

Kesadaran akan betapa pentingnya berkorban dalam segala aspek kehidupan termasuk pengorbanan ideology dan metasifisik adalah jawaban atas munculnya Nasionalisme dalam diri. Dimana kita akan menempatkan diri?, apa yang telah kita perbuat untuk Negara ini?, apakah kita telah benar-benar merdeka?. Kemerdekaan suatu bangsa adalah kemerdekaan realistis yang telah dimiliki oleh seluruh anak bangsa, kemerdekaan yang menghadirkan penuh kesadaran individu untuk menjadi pribadi yang lebih berpengaruh, bukan persepsi, tapi tindak-tindak tanduk yang terus terarah pada kemajuan dengan harapan mencapai kemakmuran bangsa. Hal positif yang kita lakukan apabila tidak terbangun dari kesadaran akan nilai essensinya, maka hanya akan membuahkan kelelahan dan tidak akan mengakar pada generasi selanjutnya serta yang terjadi hanyalah kebaikan “Perseptual” tiada arti.

Sebarkan

0 Sanggahan:

Posting Komentar