Meruntuhkan Persepsi Emosional serta Membangun Prinsip Validitas


Barangkali—baik disadari maupun tidak, kebanyakan orang di era modern ini telah dipengaruhi oleh sebuah “gerakan akademis” yang sering disebut postmodernism. Yakni sebuah gagasan yang beranggapan bahwapandangan dunia itu subyektif; realitas dan kebenaran itu relatif dan kita (baca: manusia) tidak mungin bisa sampai kepada kebenaran hakiki. Dalam postmodernism, apa yang nampak sebagai realitas itu sebenarnya hanya efek konstruksi sosial di masyarakat yang pada akhirnya akan berganti seiring berjalannya waktu dan perubahan tempat. Jika demikian halnya, maka pada tahap ini, mungkinkah bisa dibilang bahwa kita adalah “korban sosial-budaya” postmodernism itu sendiri? … Mungkin saja kan!

Disamping itu, apabila perkembangan berpikir kita saat ini memang minusaktivitas intelektual dan lebih didominasi oleh “efek sosial-budaya” yang telah tumbuh di masyarakat, maka topik seputar pertumbuhan pola berpikir kawula muda dan hal-hal yang terkait dengan masa depan kepemudaan itupun menjadi tema-tema krusial yang perlu dicermati bersama. Di era sekarang ini setidaknya layak diakui bahwa kepemudaan memang merupakan tema yang cukup diminati, sehingga cocok pula untuk diperbincangkan.

Ada beberapa hal yang menjadi sorotan kajian dan merupakan bahan telaah yang cukup unik dan sepertinya sangat asing bila ditendensikan pada zaman sekarang. Perspektif bukanlah barometer suatu kebenaran sekalipun dalam konteks pribadi, karena pada dasarnya, yang menyelimuti eksistensi dari Perspektif itu sendiri adalah emosional yang tidak terbendung serta sampai ketahapan yang dimana kepribadian seseorang terbentuk hanya karena perspektif individualnya.

Komunikasi adalah alat utama dalam menjalin interaksi dan Source sangat berpengaruh dalam menciptakan kondisi apapun termasuk membentuk Persepsi personal manusia. Dalam interaksi pemuda, sangat jelas terlihat bagaimana sikap yang polos dan serta merta menggambarkan kelemahan, kelembutan, keunikan, dan betapa istimewanya mereka.

Sangat banyak manusia khususnya para pemuda yang kepribadiannya merupakan prodak dari pabrik persepsi tanpa barometer yang valid. Tanpa memahami konsep kosmik, mereka menjalin interaksi Nonsistemik yang mengantarkan pada pemahaman sempit bahwa “Dunia tidak sementara”.

Pemahaman seperti itu mungkin dapat dikatakan baik apabila terkait dengan kewirausaahaan atau kinerja suatu system terkait ekonomi, tapi tidak bisa dijadikan pola pikir Mayor yang kemudian melekat dalam diri serta berkuasa atas semua dimensi personal.

Pada kenyataannya, “Prinsip” adalah dimensi paling fundamental untuk mempertahankan Essensi diri, menjadi tolok ukur dalam menyingkapi banyak hal, dan bahkan menjadi supra eksistensi yang melebihi apapun yang ada.

Apakah Prinsip itu?. Apakah Prinsip bersifat abstrak atau non Abstrak?, Inheren atau Ekstern?. Sudah semakin jelas, bahwa masalah ini adalah titik kajian kita. Pemuda pada umumnya secara real, telah banyak mengumbar Prinsip personalnya, mengutarakan prinsip personalnya sekalipun dalam konteks yang tidak serius. Jika kita kaji lebih dalam, Prinsip itu adalah sesuatu yang tidak terkait dengan materi, bersifat abstrak dan Inheren, Fundamen dan sacral. Sistem kajian untuk membahas hal demikian tidak bisa dilakukan secara nonsistemik karena dapat terjadi kerancuan dalam pemahaman.

Setelah kita menyadari bahwa Prinsip adalah sesuatu yang Inheren dalam diri, maka apa yang menjadi barometer kita untuk mempertahankan prinsip personal?. Sesuatu yang sifatnya Inheren bukan Menu Sarapan istimewa yang berada dibalik tutup saji yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Konsep itu harus tersusun rapi dalam benak dan harus selalu dipertanyakan kevalidannya. Sering saya temukan dalam perbincangan antar pemuda dalam membahas suatu masalah, mereka acap kali menggunakan senjata prinsip agar tidak dapat di klarifikasi oleh rekan bicaranya. Pertanyaannya adalah. Jika Prinsip itu adalah hal yang Inheren, maka apa barometer kebenaran prinsip tersebut?. Sangat realistis, Prinsip seringkali menduduki posisi yang kurang lebih adalah posisi Emosional, dalam arti, penggunaan kalimat seperti “Ini adalah prinsip saya” lebih cocok ketika dikatakan “Ini adalah emosional saya”. Emosional tidak terbangun atas pengetahuan, ketika yang kita sebut :”Prinsip” memiliki kualitas yang demikian, maka kita akan terus menjadi manusia yang dikualifikasikan oleh “Emosional”. Malah bisa jadi orang yang sering mengutarakan dan membanggakan Prinsip personal yang telah terbangun atas dasar persepsi sederhananya adalah orang-orang yang tidak memiliki Prinsip sama sekali, bahkan ia adalah budak emosionalnya.

Dalam ranah Intelektual, hal ini sangat penting, karena kebenaran tidak bersifat perseptual tapi real dan dapat dibuktikan. Pola berfikir yang salah dapat mengantarkan kita kepada kesalahan mendasar yang menyebabkan kita menjadi manusia yang kering dan gelap dari cahaya kebenaran. Semoga dalam kajian sederhana terkait Peran Persesi dapat memberikan sedikit Sumbangsih pencerahan bagi setiap pembaca agar berhati-hati dalam menggunakan perspektif yang tidak terbentuk oleh pengetahuan dan dasar logika yang benar.

Sebarkan

0 Sanggahan:

Posting Komentar