Sejak internet menjadi dunia ketiga yang sebelumnya tidak ada,
sebelumnya kita hanya tau dua alam, alam dunia dan alam akhirat, (bagi
yang percaya). Kita tau itu dari Al-qur'an atau dari teks-teks agama,
agama mainstream percaya adanya dua alam universal itu sebagai tempat
menuai dan memanen.
Kita sekarang lebih sering berada dialam
ketiga yang tidak sempat disinggung oleh kitab suci, mulai bangun tidur
sampai mau tidur, kita lebih sering memegang smartphone ketimbang barang
yang membuat kita malu atau malu-maluin (kemaluan), 'kamu punya malu
ga?'.
Itulah dunia internet atau biasa disebut 'dunia maya' atau 'dunia digital'.
Dengan kemudahan akses internet baik yang beli paketan atau yang
numpang disevel, setiap orang berusaha mengungkapkan dirinya. Kalau
tidak ada yg bisa diungkap dalam dirinya, maka akan meng-create diri
palsunya yang pintar padahal keminter, humanis padahal cuek, sopan
padahal jorok, saleh padahal salah, bijak padahal pembajak, humoris
padahal hororis, yang peduli politik padahal modalnya cuma
denger-denger. Dan yang terpenting lagi adalah sok pakar padahal hanya
cari tenar.
Alam virtual ini cukup memberi kebebasan orang untuk
memenuhi apa yang menjadi obsesinya yang tak tercapai didunia nyata,
dengan menekan tombol-tombol keyboard/keypad, tanpa kompetensi, tanpa
keahlian khusus, tanpa kejernihan dalam menganalisis, dan yang lebih
parah lagi tanpa kepatuhan kepada EYD, singkatnya, dia adalah kriminal
bahasa atau kafir EYD.
Karna hampir semuanya tidak mematuhi
kaidah penulisan, standart bagus dan buruk sebuah tulisanpun kabur. Yang
penting jumlah likersnya banyak dan tulisannya dishare, selanjutnya
bagus tidak bagus ditentukan oleh nama dan seleb jurnalis gadungannya,
sedemikian rupa sehingga kalo tidak menshare tulisannya atau like
statusnya berarti dia kuper dan tidak gaul secara digital, sebab gaul
secara sosial perlu modal, perlu mobil, perlu penampilan dan aksesoris
lainnya.
Maka muncullah jurnalis-jurnalis tanpa kartu PWI,
analis-analis yang mengomentari setap kejadian mulai dari reklamasi
sampai rekramasi(keramas dua kali). 'Inget kali jodo!'.
Para
makmumnya-pun setia, saking setianya keburu ngelike dan ngeshare sebelum
baca, dan komen walaupun ga nyambung atau komen serampangan.
Alhasil, dunia ketiga ini adalah dunia yang memperbolehkan siapapun jadi
pinter dengan mudah, tanpa ijazah, tanpa sekolah dan tanpa baca buku.
Siapapun bisa jadi ustad tanpa harus melilitkan selendang dikepalanya,
siapapun bisa jadi pakar politik dan ahli ilmu, modalnya mudah, hanya
copas dan jiplak tanpa mengutip sumber.
Berikut contoh-contoh kesalahan langganan jurnalis sim salabim yang sering muncul dihome masyarakat digital:
Disurabaya: seharusnya 'di' dan 'surabaya' dipisah, atau mungin
surabaya bisa berarti kata kerja menurut sebagian besar jurnalis
gadungan.
Di makan : mungkin makan yang dimaksud adalah makan
dalam bahasa arab yang artinya 'tempat'. Sehingga 'di' dan 'makan'
ditulis terpisah.
Rubah: sejenis serigala tapi jurnalis kita
sering menggunakan kata ini untuk menunjukkan asal kata dari
'perubahan', kalau memang itu tujuannya, saya ingatkan, seharusnya
menggunakan kata 'ubah'.
Jangan lupa like dan share tulisan ini. Jika tidak berarti anda tidak gaul secara digital.
Ciaaaaaaaaaao!